Apa beda antara politikus jaman perjuangan kemerdekaan Indonesia dengan politikus pada masa kini ? Pertanyaan ini dilontarkan oleh Agus Chondro, mantan politikus PDI-P yang pernah terseret kasus gratifikasi pemilihan Gubernur Bank Indoensia dalam acara Diskusi Publik bertema Disorientasi Partai Politik dan Libido Kekuasaan di Gedung Kauje (14/3). Politikus jaman perjuangan kemerdekaan Indonesia berjuang lantas dipenjara kemudian baru jadi pejabat, nah politikus saat ini jadi pejabat baru kemudian dipenjara, jawab Agus Chondro disambut tawa dan tepuk tangan peserta diskusi publik.
Agus Chondro kemudian menjelaskan jika partai politik (parpol) sebagai soko guru politik telah tercemar oleh keinginan berkuasa dan mencari materi alias mengalami disorientasi. Jika di hulu sudah tercemar, maka yang di hilir pun makin tercemar, jelasnya. Parpol menurut mantan anggota DPR-RI kelahiran Batang ini, telah gagal menjalankan fungsinya sebagai alat rekrutmen pejabat publik. Jadi tumpuan perubahan politik Indonesia ada di tangan mahasiswa dan intelektual kampus yang masih memegang teguh idealisme, sambungnya lagi.
Agus Chondro kemudian menceritakan pengalamannya selama menjadi politikus di Senayan. Dia menemukan banyak rekrutmen calon anggota parlemen dan pejabat publik yang didasarkan pada kekuatan keuangan calon dan bukannya keahliannya. Akibatnya mereka yang benar-benar memiliki kemampuan memimpin, malah kalah oleh mereka yang punya uang banyak. Ironisnya praktek seperti ini ternyata direstui oleh parpol. Aneh jika kemudian ada parpol yang mengatakan bahwa kasus korupsi yang dilakukan kadernya di DPR adalah masalah pribadi dan partai menolak ikut campur, katanya. Menurut anggota DPR RI dua periode ini, disorientasi parpol karena parpol tidak punya dana mandiri yang jelas. Padahal dalam AD/ART setiap parpol sudah jelas, bahwa sumber keuangan parpol salah satunya adalah iuran anggota. Nah, berapa banyak parpol yang menjalankan roda organisasinya dari iuran anggota ? Kebanyakan malah menggantungkan diri sumbangan anggotanya yang sudah jadi anggota parlemen atau pejabat publik, ungkapnya. Kesempatan ini yang kemudian membuka pintu parpol bagi calon berduit, bukannya calon yang memiki idealisme.
Kedua, biaya politik yang tinggi. Untuk menjadi anggota parlemen butuh duit, menduduki jabatan publik juga butuh uang. Ditambah lagi dengan gaya hidup politisi saat ini yang membutuhkan biaya tinggi makin memperparah kondisi. Lihat saja, dulu konggres parpol seringnya diadakan di asrama haji tapi kini di hotel mewah. Dulu aktivis politik.